[Indonesia Version] Webinar “COVID-19: Kapankah waktu yang aman untuk relaksasi PSBB?”
Banyak orang di dunia sekarang bertanya, kapan pembatasan sosial karena pandemi COVID-19 ini akan berakhir? Beberapa negara dan kota di dunia telah mulai melonggarkan pembatasan sosial. Pertanyaan lain kemudian muncul, kapankah waktu yang aman untuk melonggarkan pembatasan? Menimbang bahwa virus ini masih bersama kita dan kita belum menemukan obat dan vaksinnya. Tentunya pemerintah tidak ingin ada gelombang peningkatan kasus berikutnya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada 28 Mei 2020, diadakan webinar dengan 600 peserta berjudul: “COVID19: Kapan waktu yang aman untuk relaksasi PSBB?”, diselenggarakan oleh Collaborative Australia-Indonesia Programs on Sustainable Development and Climate Change (CAIPSDCC), program kerja sama antara Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER), FMIPA Universitas Indonesia dan Griffith University, Australia. Ini merupakan webinar kedua dalam seri webinar CAIPSDCC dengan topik besar Planetary & Human Health to Fight Global Pandemic. Narasumber yang dihadirkan adalah:
- Dwi Oktavia Handayani, M. Epid, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta;
- Iwan Ariawan MS, Dept. Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia;
- Dicky Budiman M. Sc. PH, PhD (Cand.) Centre for Environment and Population Health (CEPH), Griffith University;
- Dimoderatori oleh Dr. Febi Dwirahmadi, dosen bidang studi Kesehatan Global, Griffith University’s School of Medicine
Prof. Rachmat Witoelar, penasihat CAIPSDCC membuka sesi menyatakan bahwa masyarakat harus dibuat sehat dulu, baru kemudian mereka bisa berusaha (untuk memulihkan ekonomi). Pemerintah perlu ikuti arahan WHO dengan menjadikannya kebijakan dan mengkomunikasikannya. Keduanya perlu dilaksanakan secara konsisten.
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, diwakili oleh dr Lies Dwi Octavia, menyatakan bahwa saat ini Pemprov sedang dalam proses mengkaji rencana relaksasi PSBB dengan mengacu pada kriteria WHO, meliputi kriteria epidemiologi, kriteria sistem kesehatan, dan kriteria sistem pengawasan kesehatan.
Kriteria Epidemiologi meliputi:
- Penurunan minimal 50% selama 3 minggu sejak puncak terakhir dan penurunan berkelanjutan insiden kasus konfirmasi dan probable yang teramat
- < 5 % sample positif COVID-19 selama 2 minggu
- < 5 % sample positif COVID-19 diantara sample ILI selama 2 minggu terakhir
- Minimal 80 % kasus berasal dari daftar kontak
- Penurunan jumlah kematian pada kasus konfirmasi à3 minggu terkahir
- Penurunan berkelanjutan jumlah perawatan di Rumah Sakit dan IGD selama 2 minggu terakhir
- Penurunan angka kematian tambahan sesuai kelompok umur akibat pnuemonia
Kriteria Sistem Kesehatan, meliputi:
- Semua pasien COVID-19 dapat diberi tatalaksana sesuai standar. Semua pasien gangguan parah selain COVID-19 dapat diberi tatalaksana sesuai standar.
- Tidak ada peningkatan kematian di RS akibat gangguan-gangguan selain COVID-19
- Sistem Kesehatan dapat menyerap untuk menangani peningkatan 20 % beban kasus COVID-19
- Terdapat satu focal point pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di semua fasilitas pelayanan kesehatan dan tingkat kab/kota
Kriteria Sistem Surveilans Kesehatan, meliputi:
- Kasus- kasus baru dapat diidentifikasi dan dilaporkan, dan data dimasukkan ke dalam analisis epidemiologis dalam waktu 24 jam.
- Kasus-kasus kemungkinan dan konfirmasi COVID-19 wajib segera dilaporkan sesuai persyaratan penyakit wajib dilaporkan nasional (national notifiable disease)
- Surveilans yang diperkuat diterapkan di tempat-tempat pemukiman tertutup dan untuk kelompok-kelompok rentan
- Surveilans kematian terkait COVID-19 dilakukan di rumah sakit dan di masyarakat
- Jumlah total tes laboraturium virus COVID-19 yang dijalankan dilaporkan setiap hari
- Tim tanggap cepat kesehatan masyarakat berfungsi di setiap tingkat pemerintahan yang sesuai
- 90% kasus suspek diisolasi dan dikonfirmasi/dipulangkan dalam waktu 48 jam sejak munculnya gejala
- Kontak-kontak dari setidaknya 80% kasus baru dilacak dan dikarantina dalam waktu 72 jam sejak kasus baru tersebut dikonfirmasi
- Minimal 80% kontak kasus baru dipantau selama 14 hari
- Ada sistem pengelolaan informasi dan data untuk mengelola pelacakan kontak dan data-data terkait lainnya
Untuk memenuhi kriteria tersebut upaya yaitu pengetesan secara agresif menjadi salah satu pendekatan yang dilakukan. Bekerja sama dengan 36 laboratorium di Jakarta, bisa diperoleh hasil pengetesan hingga 4000 per hari dengan waktu tunggu pemeriksaan spesimen diperpendek jadi 2-3 hari, dan akan terus dikembangkan agar bisa 24 jam.
- Iwan Ariawan MS dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia menambahkan analisis data dari Google Mobility. Pada bulan April, kebijakan pembatasan sosial berhasil mendorong masyarakat tetap di rumah. Melihat kasus Jakarta, ketika jumlah orang yang tinggal di rumah mencapai 60%, terjadi penurunan kasus baru. Reproduction number (Rt) SARS-COVID-19 di Jakarta bisa berada di angka 1 ketika 61% penduduk mematuhi imbauan stay at home. Pada skala nasional, angka ideal lebih kecil yaitu 49% mengingat tingkat kepadatan penduduk di bawah Jakarta. Namun, saat ini, masih di angka 46%.
Idealnya Rt perlu ditekan di bawah angka satu. Artinya, tiap 1 orang terinfeksi menularkan ke 1 orang lain. Dengan angka di bawah satu, jumlah kasus baru akan mengalami penurunan. Di Jakarta sendiri, angka Rt pernah mencapai angka di bawah 1 yang menunjukan epidemi telah terkontrol, dibanding angka Rt nasional yang berada di kisaran 1,2. Namun saat banyak orang yang kembali keluar rumah, angka Rt kembali meningkat di atas 1 terutama sebelum dan ketika bulan Ramadan, dimana banyak penduduk keluar rumah.
Pembatasan sosial dan stay at home jelas mendukung penanggulangan COVID-19 dengan mengurangi penyebaran infeksi. Semakin banyak orang yang tinggal di rumah, angka Rt akan semakin turun. Ketika angka Rt sudah stabil di bawah 1 selama 14 hari, barulah bisa bergerak menuju relaksasi PSBB. Indonesia perlu bersabar sedikit lagi.
- Dicky Budiman dari Centre for Environment and Population Health (CEPH), Griffith University menyatakan bahwa penanganan pandemi senantiasa menggunakan strategi testing, tracing, treating, isolate. Lockdown/PSBB/Karantina Wilayah, serta physical dan social distancing merupakan strategi pendukung saja. Ketika kebijakan ini diambil, testing, tracing, treating, dan isolate harus tetap dijalankan bahkan ditingkatkan. Ketika kita lengah dalam upaya pencegahan, ada ancaman terjadi kasus puncak kedua, dan bahkan ketiga. Kebiasaan atau behaviour masyarakat memegang kunci penting dalam penanganan pandemi.
Pelonggaran dari pembatasan sosial harus dilakukan secara hati-hati dengan terus meningkatkan kapasitas testing, tracing, treating, dan isolation. Relaksasi atau pelonggaran juga harus dilakukan secara bertahap. WHO menyatakan 6 kriteria untuk melonggarkan lockdown:
- Surveillance/pengawasan yang kuat terkait transmisi yang terjadi.
- Kapasitas sistem kesehatan yang memadai dalam melakukan deteksi, isolasi, pengetesan, dan pelacakan kontak.
- Meminimalisir kemunculan penyebaran baru di wilayah-wilayah khusus seperti fasilitas kesehatan dan panti jompo.
- Pengadaan sarana dan prasarana untuk mencegah penyebaran.
- Manajemen kasus impor yang baik.
- Komunitas dan individu harus diedukasi, diberdayakan, dan dilibatkan dalam langkah menuju “new normal“.
Di Queensland, Australia, yang sedang berada dalam tahap pelonggaran pembatasan sosial, kapasitas untuk pengetesan terus ditingkatkan dan sudah berada di angka 10,000 per hari. Pelacakan kontak juga dilakukan dengan sangat baik. Untuk mendeteksi COVID-19 secara menyeluruh, warga masyarakat yang sedang mengalami demam ataupun sebelumnya mengalami demam, disarankan untuk melakukan pengetesan. Juga ada berbagai pengaturan untuk menjaga jarak di lokasi publik dan fasilitas umum.
New Normal dapat dilihat pada level komunitas/individu dan institusi. Pada level individu, upaya edukasi harus dilakukan segera. Pada level institusi, selain edukasi, pelaksanaanya harus dilakukan spesifik per bidang, mempertimbangkan banyak hal dan disiapkan secara komprehensif, melibatkan para ahli dari berbagai bidang. New normal bukanlah sekedar PSBB yang ditiadakan, melainkan perilaku sehari-hari baru yang harus diadopsi oleh masyarakat demi menghadapi COVID-19 yang masih ada di sekitar kita, sementara kita belum memiliki obat yang definitif maupun vaksin untuk menanganinya.
Pengambil kebijakan sebaiknya jangan melakukan kebijakan relaksasi yang dilakukan secara terlalu cepat dan tiba-tiba. Harus dilakukan dengan persiapan yang matang, karena hal ini akan berujung pada kebijakan yang tidak efektif.
Materi Pembicara dan press release dapat didownload disini